Jumat, 01 November 2013

SEJARAH PERPUSTAKAAN



Sejarah Perkembangan Perpustakaan Di Dunia

Berbagai sumber kepustakaan, antara lain yang ditulis oleh Sulistyo Basuki (1991 dan 1994) (dikutip dari Judul Buku Ilmu Perpustakaan dan Informasi Herlina , S.Ag, SS., M.Hum). Sejarah perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari sejarah manusia karena perpustakaan merupakan produk manusia. Dalam sejarah kehidupan manusia, mulai dari kehidupan nomaden dan dalam pengembaraanya mereka menyampaikan berita dengan cara memberi tanda dengan memahat pada sebuah pohon, batu, papa lempengan maupun benda lainnya. Selama iitu manusia juga berhubungan dengan manusia lainnya menggunakan isyarat. Sampai pada akhirnya manusia menyampaikan berita dan berkomunikasi dengan kelompok lain melalui bahasa tulisan.

Tanda ataupun tulisan yang dipahatkan pada pohon maupun batu atau benda lainnya dapat digunakan sebagai cantuman (record) mengenai apa yang dikatakan manusia dan benda-benda tersebut diteruskan dari satu generasi ke generasi lainnya yang dapat dibaca oleh suku lainnya. Kegiatan tersebut tidak lain menyimpan dan mengumpulkan “catatan” kegiatan maka banyak dugaan bahwa perpustakaan dalam bentuk yang sangat sederhana sudah mulai dikenal ketika manusia mulai melakukan kegiatan penulisan pada berbagai benda.

Seiring dengan berjalannya waktu benda-benda yang digunakan dalam mencatat kegiatan pun berkembang, manusia berusaha menemukan alat tulis yang lebih baik dari alat tulis periode sebelumnya.

Pada Tahun 2500 SM orang Mesir menemukan bahan tulisan papyrus dibuat dari sejenis rumput yang tumbuh disepanjang sungai Nil, ditulisi dengan menggunakan pahatan dan tinta. Di Eropa menggunakan alat tulis dari kulit hewan (prachmen dan vellum). Pada abad pertengahan Masehi sejenis bahan mirip kertas ditemukan di Cina.

Pada abad ke-15 di Eropa ditemukan mesin cetak dan yekhnik percetakan masih primitif untuk membuatnya memerlukan waktu yang lama dan berpengaruh bagi perkembangan perpustakaan. Akan tetapi yekhnik percetkan terus dikembangkan dengan tipe gerak. Prose semacam ini ditemukan oleh Johann Gutenberg di Mainz Jerman pada tahun 1440. Buku yang diterbitkan semasa ini hingga abad ke-16 dikenal dengan nama incunabula. Mein cetak penemuan Gutenberg kemudian dikembangkan sehingga mulai abad ke-16 pencetakan buku dalam waktu singkat mampu menghasilkan ratusan eksemplar.

Perkembangan perpustakaan tidak lepas dari perkembangan masyarakatnya. Sejak zaman dahulu hingga sekarang tujuan perpustakaan selalu identik dengan tujuan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena perpustakaan merupakan hasil ciptaan masyarakat, bukan sebaliknya.

Sebagai contoh :Raja Assurbanipal (669-663 SM), dari Babylonia mendirikan peerpustakaan kerajaan besar di kota Noneveh sekitar tahun 600 SM, berisi puluhan ribu lempeng tanah liat. Perpustakaan tersebut tidak saja berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil seni dan pengetahuan masyarakat Babylonia, tetapi juga bertugas menyebarkannya kepada masyarakat.

Peradaban Yunani mengenal tulisan Mycena tahun 1500 SM, Yunani mulai mengenal perpustakaan milik Peisstratus (Athena) dan Polyerratus (Samos) sekitar abad ke-6 dan ke-7 di Mesir, Ptolemeus Soter yang berkuasa antara tahun 323-285 SM membangun perpustakaan Alexandria yang menjadi pusat intelektual selama hampir 9 abad. Perpustakaan Alexandria berkembang pesat dan memiliki 200.000 gulungan papirus hingga mencapai 700.000 gulungan pada abad pertama SM. Akan tetapi pada tahun 900-an perpustakaan ini terbakar. dan kini perpustakaan tersebut dipugar oleh Unesco. Pada abad menegah, gereja mendirikan perpustakaan gereja dan menyebarkannya kepada masyarakat.

Agama islam muncul abad ke-7. Islam kemudian mulai menyebar sekitar Arab Syria, Babyonia, Mesopotania, Persia, Mesir, seluruh bagian utara Afrika dan Spanyol. Orang Arab berhasil dalam bidang perpustakaan dan berjasa besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan matematika ke Eropa.

Pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20, pemerintah di Amerika Utara dan Eropa Barat mendirikan perpustakaan umum. Pembangunan perpustakaan umum untuk menunjukkan bahwa keberadaan perpustakaan bukan saja untuk golongan atas belaka sebagaimana pernah terjadi pada abad-abad sebelumnya, melainkan juga perpustakaan untuk kepentingan golongan menengah dan kebawah.

Sepanjang sejarahnya, perpustakaan selalu membantu penyebarluasan pendidikan informasl dengan cara menyediakan kemudahan belajar. Hubungan antara masyarakat dengan perpustakaan juga nampak pada pembangunan gedung perpustakaan. Perpustakaan dianggap prasarana penting sehingga orang-orang pada zaman dahulu selalu menempatkan perpustakaan dikuil, istana, biara, katedral serta tempat lain yang dianggap penting. Hal tersebut ditiru juga pada masa kini sehingga perpustkaan yang besar selalu berada ditengah kota. Perhatikan misalnya Bibliotheque Nationale di Paris, Lenin State Library di Moscow. Perpustakaan merupakaan tempat belajar disamping sekolah.

Sejarahwan Gibbon pernah mengatakan bahwa pendidikan yang diberikan oleh seseorang pada dirinya melaluli otodidak jauh lebih penting dari pada pendidikan yang diperolehnya dari seorang guru. Kecendrungan penggunaan perpustkaan umum sebagai tempat belajar menimbulkan istilah “ Modern Library Movement” artinya pengembangan perpustkaan sebagai badan pendidikan umum, tidak terhambat oleh tradisi dan kendala waktu sebelumnya serta memberikan inspirasi untuk kegiatan diluar semua visi sebelumnya. Di Amerika Serika(AS) untuk hal tersebut diberikan contoh 1952, tujuan perpustkaan adalah membantu pendidikan masyarakat.

Sejarah Perkembangan Perpustakaan di Indonesia

Sejarah perpustakaan di Indonesia (oky rachmawati / 10540003) tergolong masih muda jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir Fa-Hsien dari tahun 414 Menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan buku atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta. Pada sekitar tahun 695 M, menurut musafir I-tsing dari Cina, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa. Di pulau Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra.

Karya-karya tersebut seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama Budha Mahayana. Menyusul kemudian Sembilan parwa sari cerita Mahabharata dan satu kanda dari epos Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan yaitu Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa. Dari uraian tersebut nyata bahwa sudah ada naskah yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitam Kresnayana. Semua kitab itu ditulis diatas daun lontar dengan jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam lingkungan keraton. Periode berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah keruntuhan kerajaan Singosari. Pada jaman Majapahit dihasilkan dihasilkan buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu Tantular menulis buku Sutasoma. Pada jaman ini dihasilkan pula karya-karya lain seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Sorandaka, dan Sundayana. Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Dari Cerebon diketahui dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. Buku-buku tersebut adalah Pustaka Rajya-rajya & Bumi Nusantara (25 jilid), Pustaka Praratwan (10 jilid), Pustaka Nagarakretabhumi (12 jilid), Purwwaka Samatabhuwana (17 jilid), Naskah hukum (2 jilid), Usadha (15 jilid), Naskah Masasastra (42 jilid), Usana (24 jilid), Kidung (18 jilid), Pustaka prasasti (35 jilid), Serat Nitrasamaya pantaraning raja-raja (18 jilid), Carita sang Waliya (20 jilid), dan lainlain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Cirebon merupakan salah satu pusat perbukuan pada masanya. Seperti pada masa-masa sebelumnya buku-buku tersebut disimpan di istana. Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 membawa budaya tersendiri. Perpustakaan mulai didirikan mula-mula untuk tujuan menunjang program penyebaran agama mereka. Berdasarkan sumber sekunder perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde OostJurnal Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang dibangun sejak 1624. Namun karena beberapa kesulitan perpustakaan ini baru diresmikan pada 27 April 1643 dengan penunjukan pustakawan bernama Ds. (Dominus) Abraham Fierenius. Pada masa inilah perpustakaan tidak lagi diperuntukkan bagi keluarga kerajaan saja, namun mulai dinikmati oleh masyarakat umum. Perpustakaan meminjamkan buku untuk perawat rumah sakit Batavia, bahkan peminjaman buku diperluas sampai ke Semarang dan Juana (Jawa Tengah).

Pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam antar perpustakaan atau interlibrary loan). Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip untuk koleksi perpustakaannya. Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia yaitu pada tahun 1846 dengan judul Bibliotecae Artiumcientiaerumquae Batavia Florest Catalogue Systematicus hasil suntingan P. Bleeker. Edisi kedua terbit dalam bahasa Belanda pada tahun 1848. Perpustakaan ini aktif dalam pertukaran bahan perpustakaan. Penerbitan yang digunakan sebagai bahan pertukaran adalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en Wetenschappen, Jaarboek serta Werken buiten de Serie. Karena prestasinya yang luar biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka namanya ditambah menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Nama ini kemudian berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada tahun 1950. Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanyapun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional. Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan.

Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai
bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sesudah pembangunan BKGW,
berdirilah perpustakaan khusus lainnya seiring dengan berdirinya berbagai lembaga penelitian maupun lembaga pemerintahan lainnya. Sebagai contoh pada tahun 1842 didirikan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buitenzorg. Pada tahun 1911 namanya berubah menjadi Central

Natuurwetenchap-pelijke Bibliotheek van het Departement van Lanbouw, Nijverheid en Handel. Nama ini kemudian berubah lagi menjadi Bibliotheca Bogoriensis. Tahun 1962 nama ini berubah lagi menjadi Pusat Perpustakaan Penelitian Teknik Pertanian, kemudian menjadi Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian. Perpustakaan ini berubah nama kembali menjadi perpustakaan ini bernama Perpustakaan Pusat Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Kini perpustakaan ini bernama Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Hasil-hasil Penelitian. Setelah periode tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik etis untuk membalas ”utang” kepada rakyat Indonesia. Salah satu kegiatan politik etis adalah pembangunan sekolah rakyat.

Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari perpustakaan rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan pengertian perpustakaan umum. Volksbibliotheek artinya perpustakaan yang didirikan oleh Volkslectuur (kelak berubah menjadi Balai Pustaka), sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Volkschool. Volkschool artinya sekolah rakyat yang menerima tamatan sekolah rendah tingkat dua. Perpustakaan ini melayani murid dan guru serta menyediakan bahan bacaan bagi rakyat setempat. Murid tidak dipungut bayaran, sedangkan masyarakat umum dipungut bayaran untuk setiap buku yang dipinjamnya. Kalau pada tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hindia Belanda mendirikan Indonesische Volksblibliotheken, maka pada tahun 1916 didirikan Nederlandsche Volksblibliotheken yang digabungkan dalam Holland-Inlandsche School (H.I.S). H.I.S. merupakan sejenis sekolah lanjutan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Tujuan Nederlandsche Volksblibliotheken adalah untuk memenuhi keperluan bacaan para guru dan murid. Di Batavia tercatat beberapa sekolah swasta, diantaranya sekolah milik Tiong Hoa, Hwe Koan, yang memiliki perpustakaan. Sekolah tersebut menerima bantuan buku dari Commercial Press (Shanghai) dan Chung Hua Book Co. (Shanghai). Sebenarnya sebelum pemerintah Hindia Belanda mendirikan perpustakaan sekolah, pihak swasta terlebih dahulu mendirikan perpustakaan yang mirip dengan pengertian perpustakaan umum dewasa ini. Pada tahun awal tahun 1910 berdiri Openbare leeszalen. Istilah ini mungkin dapat diterjemahkan dengan istilah ruang baca umum. Openbare leeszalen ini didirikan oleh antara lain Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging, dan Maatschappij tot Nut van het Algemeen.

Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an yaitu mengikuti berdirinya sekolah tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di Bandung (1920), Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di -Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain. Pada jaman Hindia Belanda juga berkembang sejenis perpustakaan komersial yang dikenal dengan nama Huurbibliotheek atau perpustakaan sewa. Perpustakaan sewa adalah perpustakaan yang meminjamkan buku kepada kepada pemakainya dengan memungut uang sewa. Pada saat itu tejadi persaingan antara Volksbibliotheek dengan Huurbibliotheek. Sungguhpun demikian dalam prakteknya terdapat perbedaan bahan bacaan yang disediakan. Volksbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan bacaan populer ilmiah, maka perpustakaan Huurbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan bacaan berupa roman dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, buku remaja serta bacaan gadis remaja. Disamping penyewaan buku ter-dapat penyewaan naskah, misalnya penulis Muhammad Bakir pada tahun 1897 mengelola sebuah perpustakaan sewaan di Pecenongan, Jakarta. Jenis sewa Naskah juga dijumpai di Palembang dan Banjarmasin. Naskah disewakan pada umumnya dengan biaya tertentu dengan disertai permohonan kepada pembacanya supaya menangani naskah dengan baik. Disamping perpustakaan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan yang didirikan oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar koleksinya adalah naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh dibaca di tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan perpustakaan yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting diantaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen. Selama pendudukan Jepang openbare leeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen maka koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan, dan merupakan cikal bakal dari Perpustakaan Nasional. Perkembangan pasca kemerdekaan mungkin dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiri perpustakaan Yayasan Bung Hatta dengan koleksi yang menitikberatkan kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Indonesia.

Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting voor culturele Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan antara pemerintah RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah RI. Kemudian oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial Departemen P & K. Dalam rangka usaha melakukan pemberantasan buta huruf di seluruh pelosok tanah air, telah didirikan Perpustakaan Rakyat yang bertugas membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta huruf tersebut. Pada periode ini juga lahir perpustakaan Negara yang berfungsi sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di Ibukota Propinsi. Perpustakaan Negara yang pertama didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung (1953); Ujung Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya (1959). Setelah itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di Banjarmasin (1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara ini dikembangkan secara lintas instansional oleh tiga instansi yaitu Biro Perpustakaan Departemen P & K yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P & K yang membina secara administratif, dan Pemerintah Daerah Tingkat Propinsi yang memberikan fasilitas.
(Sumber : Jurnal Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 1 59)

Sejarah Perkembangan Perpustakaan Islam

Sejarah perkembangan perpustakaan berikut ini disarikan dari berbagai sumber kepustakaan seperti yang ditulis oleh Mohammad Joesoef Tjoen dan S. Pardede (1966), Sulistyo Basuki (1991 dan 1994), atau buku berjudul Kiprah Pustakawan (1998) dan dari PNRI Naskah akademi RUU Perpustakaan (2006). (dikutip dari Judul Buku Ilmu Perpustakaan dan Informasi Herlina , S.Ag, SS., M.Hum).

Sejarah Islam lahir di Saudi Arabia pada abad ke-7 – 15 M. dan berkembang ke Afrika, Asia, dan Eropa. Seiring dengannya, dunia ilmu pengetahuan juga berkembang pesat. Perpustakaan terdapat di Istana-istana khalifah, perguruan-perguruan Islam, dan masjid-masjid diseluruh wilayah Islam. Buku-Buku agama dan ilmu pengetahuan ditulis kulit-kulit binatang, pelepah kayu, dan media lainnya, sehingga untuk menyimpannya sebuah perpustakaan memerlukan tempat luas. Tidak heran kalau sungai Tigris di Eufrat diseberangi pasukan Hulogo Khan dengan melemparkan jutaan buku kedalamnya. Para sarjana Barat memanfaatkan perpustakaan Islam di Masjid Cordoba, di Spanyol, dan P.T. Palermo di Sisilia. Karena sebagian dari tenaga pengajarnya adalah sarjana-sarjana Islam. Di tempat-tempat tersebut sarjana Barat belajar filsafat, ilmu kimia, matematika, dan lain-lain. Perpustakaan merupakan media untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan memberi peradaban umat manusia. Pusat Ilmu pengetahuan yang lain adalah di Afrika Utara, kemudia Damaskus, lalu Baghdad di Irak. Setelah reqonquisita, Spanyol lepas dari Malum Muslimin pada Tahun 1942, setelah dikuasai selama 7 abad (700 M-1942). Para ahli kelautan Islam mengantar orang Spanyol ke Amerika dan India-Indonesia.

Perpustakaan Islam berkembang bersama berkembangnya peradaban dunia Islam yang mencapai puncak kejayaannya sekiat abad ke 4-6 Hijriyah atau abad 9-11M. Namundemikian beberapa perpustakaan besar sebenarnya telah dibangun pada abad-abad sebelumnya. seerti perpustakaan Aleksandria di Mesir yang dibangun oleh Kaisar Roma yang akhirnya menjadi perpustakaan Islam sejak Mesir dikuasi Islam, Perpustakaan Baitul Himah di Bghadad dibangun pada jaman Harun Al Rasyid sekitar abad ke dua Hijriyah atau abad ke 7 M.

Perpustakaan Islam pertama kali didirikan Chalid Ibnu Jazid pada Tahun 85 H. Perpustakaan Islam merupakan tempat belajar semacam perguruan tinggi atau sekolah, hanya tanpa pengajar. Beberapa perpustakaan menyediakan asrama bagi pemakai perpustakaan yang berasal  dari luar daerah yang jauh, bahkan seperti perpustakaan Darul Ilm di Basrah memberi uang kepada pemakai perpustakaan yang kurang berada.

Beberapa contoh perpustakaan umum yang besar antara lain: Baitul Hikmah yang didirikan pada jaman Khalifah Harun Al Rasyid (170-193 H) dikota Baghdad dan berkembang pesat pada mas khalifah Al Ma’mun (198-218  H). Pada masa ini banyak diterjemahkan buku-buku dari Yunani, Romawi, Ankara, Dan Siprus. Selain itu beberapa perpustakaan umum seperti Al Haidariyah bertempat didekat makam Sayidina Ali, Perpustakaan Umum Sabur yang didirikan pada abad ke-5 di Baghdad dan memmempunyapunyai koleksi sekitar 10.400 buah, perpustakan Darul Hikmah didirikan di Kairo pada tahun 395 H, perpustakaan sekolah Nizhamiyah didirikan pada abad ke-6 Hijriyah dan pada pertengahan abad ke-7 mempunyai koleksi sekitar 80.000 buah. Selain perpustakaan umum, ada jenis lain yang didirikan oleh para khalifah untuk golongan tertentu dan digunakan untuk kepentingan pemerintahan para khalifah. Salah satu yang terkenal adalah milik khalifah-khalifah Fathimiyin di Kairo Mesir yang mempunyai koleksi 2.000.000 buah.

Dalam peradaban Islam dikenal juga adanya perpustakaan khusus yang didirikan oleh para ulama  dan Sastrawan untuk keperluan penelitian dan diskusi. Perpustakaan jenis ini banyak berdiri dinegara-negara Islam di Asia dan Afrika. Perpustakaan ini dipergunakan untuk membahas dan meneliti berbagai ilmu pengetahuan. Perpustakaan khusus Al Muwaffak Ibnul  Mathran dan Perpustakaan Ifraim Ibnul Zaffan yang didirikan pada abad ke-6 H, Mempunyai koleksi 10.000 jilid. Beberapa perpustakaan besar lainnya seperti perpustakaan Al-Fat-hu Ibnu Chaqam yang didirikan pada abad ke-3 H, dan beberapa perpustakaan sejenis lainnya (PNRI Naskah Akademis RUU Perpustakaan, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar