Sejarah
Perkembangan Perpustakaan Di Dunia
Berbagai sumber kepustakaan, antara lain
yang ditulis oleh Sulistyo Basuki (1991 dan 1994) (dikutip dari Judul Buku Ilmu Perpustakaan dan
Informasi Herlina , S.Ag, SS., M.Hum). Sejarah perpustakaan
tidak dapat dipisahkan dari sejarah manusia karena perpustakaan merupakan
produk manusia. Dalam sejarah kehidupan manusia, mulai dari kehidupan nomaden
dan dalam pengembaraanya mereka menyampaikan berita dengan cara memberi tanda
dengan memahat pada sebuah pohon, batu, papa lempengan maupun benda lainnya.
Selama iitu manusia juga berhubungan dengan manusia lainnya menggunakan
isyarat. Sampai pada akhirnya manusia menyampaikan berita dan berkomunikasi
dengan kelompok lain melalui bahasa tulisan.
Tanda ataupun tulisan yang dipahatkan pada
pohon maupun batu atau benda lainnya dapat digunakan sebagai cantuman (record)
mengenai apa yang dikatakan manusia dan benda-benda tersebut diteruskan dari
satu generasi ke generasi lainnya yang dapat dibaca oleh suku lainnya. Kegiatan
tersebut tidak lain menyimpan dan mengumpulkan “catatan” kegiatan maka banyak
dugaan bahwa perpustakaan dalam bentuk yang sangat sederhana sudah mulai
dikenal ketika manusia mulai melakukan kegiatan penulisan pada berbagai benda.
Seiring dengan berjalannya waktu benda-benda
yang digunakan dalam mencatat kegiatan pun berkembang, manusia berusaha
menemukan alat tulis yang lebih baik dari alat tulis periode sebelumnya.
Pada Tahun 2500 SM orang Mesir menemukan
bahan tulisan papyrus dibuat dari sejenis rumput yang tumbuh disepanjang sungai
Nil, ditulisi dengan menggunakan pahatan dan tinta. Di Eropa menggunakan alat
tulis dari kulit hewan (prachmen dan vellum). Pada abad pertengahan Masehi
sejenis bahan mirip kertas ditemukan di Cina.
Pada abad ke-15 di Eropa ditemukan mesin
cetak dan yekhnik percetakan masih primitif untuk membuatnya memerlukan waktu
yang lama dan berpengaruh bagi perkembangan perpustakaan. Akan tetapi yekhnik
percetkan terus dikembangkan dengan tipe gerak. Prose semacam ini ditemukan
oleh Johann Gutenberg di Mainz Jerman pada tahun 1440. Buku yang diterbitkan
semasa ini hingga abad ke-16 dikenal dengan nama incunabula. Mein cetak
penemuan Gutenberg kemudian dikembangkan sehingga mulai abad ke-16 pencetakan
buku dalam waktu singkat mampu menghasilkan ratusan eksemplar.
Perkembangan perpustakaan tidak lepas dari
perkembangan masyarakatnya. Sejak zaman dahulu hingga sekarang tujuan
perpustakaan selalu identik dengan tujuan masyarakat. Hal tersebut terjadi
karena perpustakaan merupakan hasil ciptaan masyarakat, bukan sebaliknya.
Sebagai contoh :Raja Assurbanipal (669-663 SM), dari
Babylonia mendirikan peerpustakaan kerajaan besar di kota Noneveh sekitar tahun
600 SM, berisi puluhan ribu lempeng tanah liat. Perpustakaan tersebut tidak
saja berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil seni dan pengetahuan masyarakat
Babylonia, tetapi juga bertugas menyebarkannya kepada masyarakat.
Peradaban Yunani mengenal tulisan Mycena
tahun 1500 SM, Yunani mulai mengenal perpustakaan milik Peisstratus (Athena)
dan Polyerratus (Samos) sekitar abad ke-6 dan ke-7 di Mesir, Ptolemeus Soter
yang berkuasa antara tahun 323-285 SM membangun perpustakaan Alexandria yang
menjadi pusat intelektual selama hampir 9 abad. Perpustakaan Alexandria
berkembang pesat dan memiliki 200.000 gulungan papirus hingga mencapai 700.000
gulungan pada abad pertama SM. Akan tetapi pada tahun 900-an perpustakaan ini
terbakar. dan kini perpustakaan tersebut dipugar oleh Unesco. Pada abad
menegah, gereja mendirikan perpustakaan gereja dan menyebarkannya kepada
masyarakat.
Agama islam muncul abad ke-7. Islam kemudian
mulai menyebar sekitar Arab Syria, Babyonia, Mesopotania, Persia, Mesir,
seluruh bagian utara Afrika dan Spanyol. Orang Arab berhasil dalam bidang
perpustakaan dan berjasa besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan matematika
ke Eropa.
Pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20,
pemerintah di Amerika Utara dan Eropa Barat mendirikan perpustakaan umum.
Pembangunan perpustakaan umum untuk menunjukkan bahwa keberadaan perpustakaan
bukan saja untuk golongan atas belaka sebagaimana pernah terjadi pada abad-abad
sebelumnya, melainkan juga perpustakaan untuk kepentingan golongan menengah dan
kebawah.
Sepanjang sejarahnya, perpustakaan selalu
membantu penyebarluasan pendidikan informasl dengan cara menyediakan kemudahan
belajar. Hubungan antara masyarakat dengan perpustakaan juga nampak pada
pembangunan gedung perpustakaan. Perpustakaan dianggap prasarana penting
sehingga orang-orang pada zaman dahulu selalu menempatkan perpustakaan dikuil,
istana, biara, katedral serta tempat lain yang dianggap penting. Hal tersebut
ditiru juga pada masa kini sehingga perpustkaan yang besar selalu berada
ditengah kota. Perhatikan misalnya Bibliotheque Nationale di Paris, Lenin State
Library di Moscow. Perpustakaan merupakaan tempat belajar disamping sekolah.
Sejarahwan Gibbon pernah mengatakan bahwa
pendidikan yang diberikan oleh seseorang pada dirinya melaluli otodidak jauh
lebih penting dari pada pendidikan yang diperolehnya dari seorang guru. Kecendrungan
penggunaan perpustkaan umum sebagai tempat belajar menimbulkan istilah “ Modern
Library Movement” artinya pengembangan perpustkaan sebagai badan pendidikan
umum, tidak terhambat oleh tradisi dan kendala waktu sebelumnya serta
memberikan inspirasi untuk kegiatan diluar semua visi sebelumnya. Di Amerika
Serika(AS) untuk hal tersebut diberikan contoh 1952, tujuan perpustkaan adalah
membantu pendidikan masyarakat.
Sejarah Perkembangan Perpustakaan di Indonesia
Sejarah perpustakaan di Indonesia (oky rachmawati / 10540003) tergolong
masih muda jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat
bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah
perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an yaitu saat lingga
batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir
Fa-Hsien dari tahun 414 Menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya
kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan
buku atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta. Pada
sekitar tahun 695 M, menurut musafir I-tsing dari Cina, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya
hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha
melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa. Di pulau
Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini
karena di kerajaan ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai
karya sastra.
Karya-karya tersebut seperti Sang Hyang
Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama Budha Mahayana. Menyusul
kemudian Sembilan parwa sari cerita Mahabharata dan satu kanda dari epos
Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan yaitu Brahmandapurana dan Agastyaparwa.
Kitab lain yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa. Dari
uraian tersebut nyata bahwa sudah ada naskah yang ditulis tangan dalam media
daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu
kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga dengan karya
sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang bersama-sama
menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab
Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab
Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitam Kresnayana. Semua kitab itu ditulis
diatas daun lontar dengan jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam
lingkungan keraton. Periode berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini
tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga
ditulis setelah keruntuhan kerajaan Singosari. Pada jaman Majapahit dihasilkan
dihasilkan buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu
Tantular menulis buku Sutasoma. Pada jaman ini dihasilkan pula karya-karya lain
seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Sorandaka, dan Sundayana. Kegiatan
penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan
sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten,
Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu,
Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Dari Cerebon diketahui
dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. Buku-buku
tersebut adalah Pustaka Rajya-rajya & Bumi Nusantara (25 jilid), Pustaka
Praratwan (10 jilid), Pustaka Nagarakretabhumi (12 jilid), Purwwaka Samatabhuwana
(17 jilid), Naskah hukum (2 jilid), Usadha (15 jilid), Naskah Masasastra (42 jilid),
Usana (24 jilid), Kidung (18 jilid), Pustaka prasasti (35 jilid), Serat
Nitrasamaya pantaraning raja-raja (18 jilid), Carita sang Waliya (20 jilid),
dan lainlain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Cirebon merupakan salah
satu pusat perbukuan pada masanya. Seperti pada masa-masa sebelumnya buku-buku
tersebut disimpan di istana. Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 membawa
budaya tersendiri. Perpustakaan mulai didirikan mula-mula untuk tujuan
menunjang program penyebaran agama mereka. Berdasarkan sumber sekunder
perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde
OostJurnal Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta)
yang dibangun sejak 1624. Namun karena beberapa kesulitan perpustakaan ini baru
diresmikan pada 27 April 1643 dengan penunjukan pustakawan bernama Ds.
(Dominus) Abraham Fierenius. Pada masa inilah perpustakaan tidak lagi diperuntukkan
bagi keluarga kerajaan saja, namun mulai dinikmati oleh masyarakat umum.
Perpustakaan meminjamkan buku untuk perawat rumah sakit Batavia, bahkan peminjaman
buku diperluas sampai ke Semarang dan Juana (Jawa Tengah).
Pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal
perluasan jasa perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam
antar perpustakaan atau interlibrary loan). Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri
perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya
lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan
lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M. Rademaker, ketua Raad van
Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip
untuk koleksi perpustakaannya. Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog buku
yang pertama di Indonesia yaitu pada tahun 1846 dengan judul Bibliotecae
Artiumcientiaerumquae Batavia Florest Catalogue Systematicus hasil suntingan P.
Bleeker. Edisi kedua terbit dalam bahasa Belanda pada tahun 1848. Perpustakaan
ini aktif dalam pertukaran bahan perpustakaan. Penerbitan yang digunakan
sebagai bahan pertukaran adalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en
Wetenschappen, Jaarboek serta Werken buiten de Serie. Karena prestasinya yang
luar biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka namanya ditambah menjadi
Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Nama ini kemudian
berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada tahun 1950. Pada tahun 1962
Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia
dan namanyapun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi
bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan perpustakaan Museum Pusat. Nama
Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan
perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional. Pada tahun 1980
Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan.
Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989
ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai
bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sesudah pembangunan BKGW,
berdirilah perpustakaan khusus lainnya seiring dengan
berdirinya berbagai lembaga penelitian maupun lembaga pemerintahan lainnya.
Sebagai contoh pada tahun 1842 didirikan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te
Buitenzorg. Pada tahun 1911 namanya berubah menjadi Central
Natuurwetenchap-pelijke Bibliotheek van het
Departement van Lanbouw, Nijverheid en Handel. Nama ini kemudian berubah lagi
menjadi Bibliotheca Bogoriensis. Tahun 1962 nama ini berubah lagi menjadi Pusat
Perpustakaan Penelitian Teknik Pertanian, kemudian menjadi Pusat Perpustakaan
Biologi dan Pertanian. Perpustakaan ini berubah nama kembali menjadi perpustakaan
ini bernama Perpustakaan Pusat Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Kini perpustakaan
ini bernama Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Hasil-hasil Penelitian. Setelah periode
tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik etis untuk membalas ”utang”
kepada rakyat Indonesia. Salah satu kegiatan politik etis adalah pembangunan
sekolah rakyat.
Dalam bidang perpustakaan sekolah,
pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari
perpustakaan rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan pengertian perpustakaan
umum. Volksbibliotheek artinya perpustakaan yang didirikan oleh Volkslectuur
(kelak berubah menjadi Balai Pustaka), sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada
Volkschool. Volkschool artinya sekolah rakyat yang menerima tamatan sekolah
rendah tingkat dua. Perpustakaan ini melayani murid dan guru serta menyediakan
bahan bacaan bagi rakyat setempat. Murid tidak dipungut bayaran, sedangkan
masyarakat umum dipungut bayaran untuk setiap buku yang dipinjamnya. Kalau pada
tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hindia Belanda mendirikan
Indonesische Volksblibliotheken, maka pada tahun 1916 didirikan Nederlandsche Volksblibliotheken
yang digabungkan dalam Holland-Inlandsche School (H.I.S). H.I.S. merupakan
sejenis sekolah lanjutan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Tujuan Nederlandsche
Volksblibliotheken adalah untuk memenuhi keperluan bacaan para guru dan murid.
Di Batavia tercatat beberapa sekolah swasta, diantaranya sekolah milik Tiong
Hoa, Hwe Koan, yang memiliki perpustakaan. Sekolah tersebut menerima bantuan
buku dari Commercial Press (Shanghai) dan Chung Hua Book Co. (Shanghai). Sebenarnya
sebelum pemerintah Hindia Belanda mendirikan perpustakaan sekolah, pihak swasta
terlebih dahulu mendirikan perpustakaan yang mirip dengan pengertian perpustakaan
umum dewasa ini. Pada tahun awal tahun 1910 berdiri Openbare leeszalen. Istilah
ini mungkin dapat diterjemahkan dengan istilah ruang baca umum. Openbare
leeszalen ini didirikan oleh antara lain Loge der Vrijmetselaren, Theosofische
Vereeniging, dan Maatschappij tot Nut van het Algemeen.
Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi
di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an yaitu mengikuti berdirinya sekolah
tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian
juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di Bandung (1920),
Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool
di -Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah
tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain. Pada
jaman Hindia Belanda juga berkembang sejenis perpustakaan komersial yang dikenal
dengan nama Huurbibliotheek atau perpustakaan sewa. Perpustakaan sewa adalah perpustakaan
yang meminjamkan buku kepada kepada pemakainya dengan memungut uang sewa. Pada
saat itu tejadi persaingan antara Volksbibliotheek dengan Huurbibliotheek. Sungguhpun
demikian dalam prakteknya terdapat perbedaan bahan bacaan yang disediakan. Volksbibliotheek
lebih banyak menyediakan bahan bacaan populer ilmiah, maka perpustakaan Huurbibliotheek
lebih banyak menyediakan bahan bacaan berupa roman dalam bahasa Belanda, Inggris,
Perancis, buku remaja serta bacaan gadis remaja. Disamping penyewaan buku
ter-dapat penyewaan naskah, misalnya penulis Muhammad Bakir pada tahun 1897
mengelola sebuah perpustakaan sewaan di Pecenongan, Jakarta. Jenis sewa Naskah
juga dijumpai di Palembang dan Banjarmasin. Naskah disewakan pada umumnya
dengan biaya tertentu dengan disertai permohonan kepada pembacanya supaya
menangani naskah dengan baik. Disamping perpustakaan yang didirikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan yang didirikan
oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan
keraton sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar
koleksinya adalah naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun
boleh dibaca di tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada
perkembangan perpustakaan yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa
gedung penting diantaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen. Selama
pendudukan Jepang openbare leeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat
dan lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch
Genootschap van Kunten Weetenschappen maka koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan,
dan merupakan cikal bakal dari Perpustakaan Nasional. Perkembangan pasca kemerdekaan
mungkin dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan
baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiri perpustakaan Yayasan Bung Hatta dengan
koleksi yang menitikberatkan kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Indonesia.
Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting
voor culturele Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan antara pemerintah
RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah RI. Kemudian
oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial
Departemen P & K. Dalam rangka usaha melakukan pemberantasan buta huruf di
seluruh pelosok tanah air, telah didirikan Perpustakaan Rakyat yang bertugas
membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta
huruf tersebut. Pada periode ini juga lahir perpustakaan Negara yang berfungsi
sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di Ibukota Propinsi. Perpustakaan Negara
yang pertama didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon
(1952); Bandung (1953); Ujung Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957);
Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya
(1959). Setelah itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di Banjarmasin
(1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara ini dikembangkan
secara lintas instansional oleh tiga instansi yaitu Biro Perpustakaan
Departemen P & K yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P &
K yang membina secara administratif, dan Pemerintah Daerah Tingkat Propinsi
yang memberikan fasilitas.
(Sumber : Jurnal Pustakawan Indonesia volume 6 nomor 1
59)
Sejarah Perkembangan Perpustakaan Islam
Sejarah perkembangan perpustakaan berikut
ini disarikan dari berbagai sumber kepustakaan seperti yang ditulis oleh
Mohammad Joesoef Tjoen dan S. Pardede (1966), Sulistyo Basuki (1991 dan 1994),
atau buku berjudul Kiprah Pustakawan (1998) dan dari PNRI Naskah akademi RUU
Perpustakaan (2006). (dikutip dari Judul Buku Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Herlina , S.Ag, SS., M.Hum).
Sejarah Islam lahir di Saudi Arabia pada
abad ke-7 – 15 M. dan berkembang ke Afrika, Asia, dan Eropa. Seiring dengannya,
dunia ilmu pengetahuan juga berkembang pesat. Perpustakaan terdapat di
Istana-istana khalifah, perguruan-perguruan Islam, dan masjid-masjid diseluruh
wilayah Islam. Buku-Buku agama dan ilmu pengetahuan ditulis kulit-kulit
binatang, pelepah kayu, dan media lainnya, sehingga untuk menyimpannya sebuah
perpustakaan memerlukan tempat luas. Tidak heran kalau sungai Tigris di Eufrat
diseberangi pasukan Hulogo Khan dengan melemparkan jutaan buku kedalamnya. Para
sarjana Barat memanfaatkan perpustakaan Islam di Masjid Cordoba, di Spanyol,
dan P.T. Palermo di Sisilia. Karena sebagian dari tenaga pengajarnya adalah
sarjana-sarjana Islam. Di tempat-tempat tersebut sarjana Barat belajar
filsafat, ilmu kimia, matematika, dan lain-lain. Perpustakaan merupakan media
untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan memberi peradaban umat manusia. Pusat
Ilmu pengetahuan yang lain adalah di Afrika Utara, kemudia Damaskus, lalu
Baghdad di Irak. Setelah reqonquisita, Spanyol lepas dari Malum Muslimin pada
Tahun 1942, setelah dikuasai selama 7 abad (700 M-1942). Para ahli kelautan
Islam mengantar orang Spanyol ke Amerika dan India-Indonesia.
Perpustakaan Islam berkembang bersama
berkembangnya peradaban dunia Islam yang mencapai puncak kejayaannya sekiat
abad ke 4-6 Hijriyah atau abad 9-11M. Namundemikian beberapa perpustakaan besar
sebenarnya telah dibangun pada abad-abad sebelumnya. seerti perpustakaan
Aleksandria di Mesir yang dibangun oleh Kaisar Roma yang akhirnya menjadi perpustakaan
Islam sejak Mesir dikuasi Islam, Perpustakaan Baitul Himah di Bghadad dibangun
pada jaman Harun Al Rasyid sekitar abad ke dua Hijriyah atau abad ke 7 M.
Perpustakaan Islam pertama kali didirikan
Chalid Ibnu Jazid pada Tahun 85 H. Perpustakaan Islam merupakan tempat belajar
semacam perguruan tinggi atau sekolah, hanya tanpa pengajar. Beberapa
perpustakaan menyediakan asrama bagi pemakai perpustakaan yang berasal dari luar daerah yang jauh, bahkan seperti
perpustakaan Darul Ilm di Basrah memberi uang kepada pemakai perpustakaan yang
kurang berada.
Beberapa contoh perpustakaan umum yang besar
antara lain: Baitul Hikmah yang didirikan pada jaman Khalifah Harun Al Rasyid
(170-193 H) dikota Baghdad dan berkembang pesat pada mas khalifah Al Ma’mun (198-218 H). Pada masa ini banyak diterjemahkan
buku-buku dari Yunani, Romawi, Ankara, Dan Siprus. Selain itu beberapa
perpustakaan umum seperti Al Haidariyah bertempat didekat makam Sayidina Ali,
Perpustakaan Umum Sabur yang didirikan pada abad ke-5 di Baghdad dan
memmempunyapunyai koleksi sekitar 10.400 buah, perpustakan Darul Hikmah
didirikan di Kairo pada tahun 395 H, perpustakaan sekolah Nizhamiyah didirikan
pada abad ke-6 Hijriyah dan pada pertengahan abad ke-7 mempunyai koleksi
sekitar 80.000 buah. Selain perpustakaan umum, ada jenis lain yang didirikan
oleh para khalifah untuk golongan tertentu dan digunakan untuk kepentingan
pemerintahan para khalifah. Salah satu yang terkenal adalah milik
khalifah-khalifah Fathimiyin di Kairo Mesir yang mempunyai koleksi 2.000.000
buah.
Dalam peradaban Islam dikenal juga adanya
perpustakaan khusus yang didirikan oleh para ulama dan Sastrawan untuk keperluan penelitian dan
diskusi. Perpustakaan jenis ini banyak berdiri dinegara-negara Islam di Asia dan
Afrika. Perpustakaan ini dipergunakan untuk membahas dan meneliti berbagai ilmu
pengetahuan. Perpustakaan khusus Al Muwaffak Ibnul Mathran dan Perpustakaan Ifraim Ibnul Zaffan
yang didirikan pada abad ke-6 H, Mempunyai koleksi 10.000 jilid. Beberapa
perpustakaan besar lainnya seperti perpustakaan Al-Fat-hu Ibnu Chaqam yang
didirikan pada abad ke-3 H, dan beberapa perpustakaan sejenis lainnya (PNRI
Naskah Akademis RUU Perpustakaan, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar